BAKN Akan Undang BP Migas Terkait Pajak Migas
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) akan mengundang BP Migas untuk menjelaskan persoalan tunggakan pajak dari KKKS Migas.
Demikian salah satu butir kesimpulan yang dibacakan oleh Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria saat RDP dengan Dirjen Pajak Fuad Rahmani dan Kepala BPKP Mardiasmo, di Gedung DPR RI, Kamis (15/9).
Yahya mengatakan, BAKN akan meneruskan hasil kesimpulan dengan Dirjen Pajak ke Komisi VII dan Komisi XI DPR agar segera ditindaklanjuti mengenai hasil pemeriksaan BPK maupun BPKP terkait tunggakan pajak KKKS Migas.
Edwin Kawilarang (F-PG) mengatakan, tax treaty tidak dikenal. pasalnya, UU lebih kuat dibandingkan tax treaty kecuali ada UU lain yang mencabutnya. "Saat ini belum ada UU tentang tax treaty dan penjelasan bahwa tax treaty itu lex specialis,"terangnya.
Menurut Dirjen Pajak Fuad Rahmani, kekurangan pajak itu disebabkan beberapa hal diantaranya, Wajib Pajak KKKS Migas tidak atau kurang membayar PPH Migas, kemudian WP KKKS Migas menerapkan tax treaty yang lebih rendah atas pemenuhan kewajiban PPh Pasal 26 ayat (4).
WP Kurang bayar sebesar 13.6 juta dollar, sementara apabila penerapan tax treaty menjadi 177.8 juta dollar, total menjadi 191 juta dollar. Sebelumnya, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan BPKP atas pembayaran pajak migas mengungkapkan bahwa porsi pendapatan untuk negara yang seharusnya 85% menjadi 73,15%. Kekurangan itu lantaran perusahaan meminta porsi 15% diterima bersih tanpa dipungut pajak.
Akibatnya pajak bunga, dividen, dan royalti sebesar 13,5% dibebankan kepada penerimaan negara. Jadi 85% jatah pemerintah terdiri atas 71,15% penerimaan kotor dan 13,85% pajak bunga royalti dan dividen. Karena itu, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tetap mempertanyakan hilangnya penerimaan negara US$159,3 juta akibat tunggakan pajak beberapa perusahaan migas. (si)